Surosowan, Debus Tertua di Banten

Debus Surosowan, Walantaka
Source : google

Tiga generasi sudah debus diperkenalkan di desa Walantaka, Serang. Ilmu ini sudah berkembang dari abad ke 16 sejak pertama kali debus Surosowan lahir di tanah Banten. Padepokan ini sempat berhenti beraktivitas sampai pada akhirnya kembali dibangkitkan oleh kakek dari Elang Satria Negara (30) selaku pemimpin Padepokan Surosowan saat ini pada awal abad ke 20.
Kala mendengar kata debus, yang terlintas dalam benak masyarakat awam adalah sebuah ilmu pertunjukkan yang menggunakan media seperti benda tajam, dan ilmu kekebalan. Debus sendiri merupakan ilmu yang sudah berkembang dari abad ke 16 di daerah Banten. Di masa itu seni pertunjukkan yang mempertontonkan kekebalan ini digunakan sebagai ilmu untuk melawan penjajah oleh pejuang tanah air. Sampai pada akhirnya, kesenian ini pun beralih fungsi menjadi sebuah seni pertunjukkan yang digunakan untuk menghibur para raja – raja di dalam kesultanan Surosowan di Banten.
     Debus sendiri memang merupakan seni yang lahir dari tanah Banten, yang dipopulerkan semenjak zaman kerajaan Islam mulai meluas di daerah ini. Saat ini, debus bukan lagi sebagai ilmu untuk berperang, namun fungsinya murni sebagai sebuah seni pertunjukkan yang biasa dipertontonkan dalam upacara – upacara adat atau pesta besar dalam tradisi masyarakat Banten. Salah satu padepokan tertua yang melahirkan kesenian debus adalah padepokan Surosowan. Padepokan ini terletak di desa Walantaka, Serang, Banten. Elang mengaku bahwa dalam silsilah keluarganya, padepokan ini sudah diurus oleh tiga (3) generasi. Yaitu, kakeknya, ayahnya, dan Elang sebagai generasi ketiga.
   Ada beberapa perbedaan antara debus Surosowan dengan padepokan lainnya, yang pertama, debus di padepokan ini merupakan gabungan antara silat dan debus. Dimana ilmu bela diri silat, berasal dari kata silahturahmi, padepokan ini memiliki visi bahwa seni bela diri dan pertunjukkan ini adalah sebagai ajang silahturahmi antara tiap – tiap perguruan / padepokan, bukan masalah pamer kekuatan atau kekebalan, namun lebih mengutamakan menjalin tali persaudaraan dan kekeluargaan dengan masyarakat di luar.
IMG_0502
Gambar 2 : Padepokan ini juga banyak melahirkan jawara perempuan di bidang bela diri silat
“Kalau berkelahi, yang kalah adalah dua – duanya, karena yang kalah pasti akan dendam dan itu akan berlanjut terus – terusan. Saya kalau dikasih musuh 1000, akan saya jadikan saudara semuanya, daripada dikasih musuh 1000, lalu mati semuanya, lalu nanti kalau saya butuh apa – apa? Ya pasti saya ga bakal ada yang nolongin dan saya juga bakal mati perlahan – lahan..” itulah filosofi yang dipegang teguh oleh Elang dimana kata “Bela Diri” jangan diartikan sebagai membela diri lewat berkelahi, namun lebih ke arah bagaimana kita bersikap kepada orang lain. Dengan kita bersikap baik terhadap musuh kita, kita sudah “membela diri” kita. Karena itu, bapak satu anak ini pun menganjurkan kepada murid- muridnya bahwa ilmu silat bukanlah ilmu yang digunakan sebagai ajang kuat – kuatan.
Padepokan ini terletak di daerah yang cukup terpencil. Sebuah desa kecil yang kira – kira ditempuh 15 – 20 menit dari kota Serang. Saat memasuki desa Walantaka, tidak susah mencari padepokan ini karena terpampang jelas sebuah tulisan pada gapura yang terbuat dari beton yang berhias lambang padepokan dan tuliskan ” Debus Surosowan”. Padepokan ini memiliki aula outdoor dan tepat disebelahnya terdapat sebuah pohon beringin besar yang umurnya sudah lebih tua dari generasi pertama keluarga Elang yang mengurus padepokan ini. Padepokan ini memiliki murid dari tingkatan yang beragam, baik dari yang masih sangat muda, sekitar umur 7 tahun, sampai dewasa diatas umur 20 tahun. Tempat ini pun memiliki kegiatan latihan rutin, dimana latihan dilaksanakan pada hari Minggu, Selasa, dan Rabu yang biasanya dimulai setelah jam tujuh malam (19.00 WIB). Elang tidak mengajar sendirian, biasanya dia ditemani oleh paman – pamannya yang juga merupakan pendekar silat Surosowan, atau kawannya yang berasal dari padepokan silat dari luar.
Dalam debus sendiri, setiap atraksi memiliki makna atau filosofi di dalamnya. Saat kita melihat ada seorang pemain yang makan beling atau batu bara, atraksi tersebut bukanlah hanya untuk hiburan semata. Melainkan ada nilai dan makna yang terkandung di dalamnya. Sebagai salah satu contoh, saat ada atraksi memakan benda – benda tidak lazim seperti bara api atau beling, atraksi itu mensimbolkan bahwa di zaman penjajahan dulu, di masa awal debus diperkenalkan, masyarakat Banten sangat kesulitan makanan. Bahwa di masa itu makan adalah suatu kemewahan dan betapa sengsaranya mereka dalam mencari makan. Lalu, adegan mengupas kelapa dengan gigi, itu menggambarkan bahwa di masa dulu alat tidak ada. Semua kegiatan harus dilakukan dengan anggota tubuh yang ada karena keterbatasan alat. Tidak adanya benda tajam untuk mengupas kelapa, membuktikan bahwa masyarakat Banten zaman dulu harus memaksimalkan potensi anggota tubuhnya sebagai pengganti alat – alat yang biasanya digunakan. Setiap gerakan yang ditampilkan adalah bentuk atau gambaran kehidupan masyarakat Banten zaman dahulu sebagai bentuk protes terhadap penjajah.
IMG_0481
Gambar 3: Lokasi rumah Elang Satria Negara yang dijadikan sebagai tempat latihan
Nuansa Islam memang masih kental di dalam debus sendiri. Bahkan, pertunjukkan debus pun harus dipimpin oleh kyai dalam prosesnya. Salah satu syarat untuk menguasai ilmu kekebalan ini pun harus dilalui dengan berpuasa agar segala prosesnya berjalan dengan lancar, “Ya, sebenarnya debus itu ga bisa instan, ada tahapannya, yang tahapan pertama itu harus belajar silat dulu untuk melatih fisik, biasanya sih baru bisa diajari debus kalau sudah 20 tahunan ke atas. Tapi tergantung juga sih, sebelum itu ada banyak proses seperti puasa, berdoa, dan harus siap dari fisik dan mentalnya…” tegas Elang bahwa ilmu debus bukanlah ilmu instan. Karena menurutnya, ilmu debus itu harus dibeli, cara membelinya lewat dengan puasa. Walau dirinya bilang bahwa debus rata -rata diajarkan kepada yang sudah dewasa, Elang sendiri mempelajari debus saat dirinya masih di bangku SMP, “Kalau saya mungkin bisa mempelajari di usia muda karena faktor keturunan, jadi lebih cepat dari yang lain.” kembali dia berujar.
Ilmu debus memang seni spiritual yang memiliki tingkat pengendalian yang cukup sulit. Selain fisik yang kuat, mendekatkan diri kepada Tuhan juga merupakan salah satu syarat wajib untuk menguasai ilmu ini. Karena pada dasarnya tidak ada ilmu yang didapat secara instan, semua butuh proses bertahun – tahun dan pengabdian yang tinggi. Yang dilakukan Elang selama ini pun hanyalah demi mempertahankan dan memperkenalkan tradisi silat debus sebagai seni tertua di Banten kepada generasi muda.


Source video : Debus Walantaka
Cr : http://fikom.umn.ac.id/2015/11/20/surosowan-budaya-spiritual-tertua-dari-banten/

Komentar

  1. Slalu berjuang kuat tetap pertahankan dan perkembangkan seni budaya Debus ini dan jangan pernah menyerah untuk memperkenalkan peninggalan seni budaya debus banten.dari Almarhum Abah H.Muh Idris.Salam dari kang Iwan gunungkidul. jogjakarta.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Monografi Kelurahan Walantaka